MTs NU Miftahul Ulum Terakreditasi "A"

Semoga Madrasah kita bukan sekedar penilaiannya saja yang A tapi sikap dan prakteknya juga A . Amiin ya rabbal alamin.

Pondok Pesantren NU Miftahul Ulum

Santriwan-santriwati sedang mendengarkan arahan dari Pengasuh Pondok Pesantren NU Miftahul Ulum Margasari

Workshop Pelatihan Guru Pembelajar Kurikulum 2013

LP MAARIF NU Miftahul Ulum Margasari mengadakan pelatihan guru MI,MTS,MA untuk perkembangan kompetensi guru

Profil Pendiri Madrasah

Drs. K.H Akhmad Zaeni,M.Ag adalah Pendiri Madrasah dan Pondok Pesantren NU Miftahul Ulum Margasari

Fasilitas dan Mushola

Madrasah Miftahul Ulum menyediakan fasilitas-fasilitas penunjang siswa seperti : Fasilitas Ibadah (Mushola), laboratorium IPA, Laboratorium Komputer dll

IKUTI KAMI DI

Twitter   Facebook   Google Plus   Instagram   Youtube Channel
Selamat Datang Di Website Resmi Kami. MTs NU Miftahul Ulum adalah Madrasah Unggul dalam Agama dan Prestasi. Kami Mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1441 H. PENDAFTARAN PPDB TAHUN PELAJARAN 2020/2021 SUDAH DI BUKA SILAHKAN LIHAT DI MENU PPDB TERIMAKASIH.

Thursday, December 22, 2016

Hukum Islam Mengucapkan Selamat Natal Kepada Pemeluk Nasrani?


Soal:
Bolehkan kita mengucapkan salam dan atau “Selamat Natal” kepada pemeluk Nasrani?

Jawab:
Ada hadits—antara lain diriwayatkan oleh Imam Mulis—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”

Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salam karya Muhammad bin Ismail al-Kahlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermadzhab Syafi’i tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka memperbolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Al-Qadhi Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan al-Auza’i. 
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap permusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan sabda Nabi saw bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, “Assalamu’alaikum,” tetapi “Assamu’alaikum” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk Anda.”

Mengucapkan “selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarna, dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.

Yang melarang ucapan “Selamat Natal”  mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.

Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Quran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kat Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlas.

Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan”.

Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam Al-Quran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita pada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau membantu terlaksanannya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Quran mengaitkannya dengan ucapan Isa, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).

Nah, salahkan bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Quran telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as, sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkan kita merayakan hari lahir (natal) Isa as? Bukankah Nabi saw juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud), melalui Ibnu Abbas—lihat Majma; al-Fawaid, hadits ke-2.981).

Itulah, antara lain, alasan membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?

Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Quran dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula. Di sini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkan sesuai dengan penggarisan keyakinannya.

Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap memelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.

Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al-Biqa’i dalam tafsirnya ketika menjelaska QS. Al-An’am [6]: 121, dari kitab ar-Raudhah.

Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial. Demikian, wallahu a’lam.
*Dikutip dari buku 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, Quraish Shihab.


No comments:

Post a Comment

Blogger templates

Recent Posts Widget